Tuesday, November 23, 2004

Book Review: Digital Fortress

spoiler warning!!!


Di tengah kesibukan mudik ke Madiun, ada SMS datang dari mas Budi:

Saya sudah beli Digital Fortress
Sip! Saya tidak sabar untuk segera balik ke Bandung dan membaca buku top seller karangan Dan Brown tersebut. Sebelumnya, saya telah membaca Da Vinci Code. Kedua buku itu sarat dengan masalah sekuriti, terutama enkripsi. Topik yang sangat menarik. Tetapi begitu melewati beberapa bab awal, greget yang saya rasakan ketika membaca Da Vinci Code tidak saya temukan kembali. Ada sesuatu yang kurang dalam buku ini.

Tak apalah. Saya teruskan membaca. Lagipula mas Budi bilang kalau dia suka dengan plotnya. Saya paksakan membaca sampai lewat tengah malam, sambil teringat pada posting Pak Moko di milis Telematika, bahwa dia sudah tiga tahun ini membaca dua buku sehari, 7 hari seminggu. Kenapa tidak saya coba? Tapi ternyata berat. Pukul 01.30 aku tidak kuat menahan kantuk yang mampu mengalahkan daya tarik Digital Fortress.

Keesokan paginya, buku setebal 429 halaman tersebut berhasil saya selesaikan. Dan dengan sangat menyesal saya mesti katakan: jangan baca buku itu. Jelek!

spoiler warning!!!


Coba bayangkan: superkomputer milik NSA, yang dibangun dari 3 juta prosesor, tidak mampu multitasking! Dia berhenti pada satu proses saja, dekripsi file yang syahdan berisi source code Digital Fortress yang ter-enkripsi, dan tidak terpecahkan setelah diproses lebih dari 15 jam. Padahal antrian dekripsi masih segunung.

Keanehan berikutnya adalah program tracer, yang menurut cerita Mas Brown, bisa dipakai untuk melacak alamat email asli dari suatu akun email anonimyzer. Tracer tersebut akan dikirim ke alamat remailer, lalu di-forward ke alamat sebenarnya; sesampainya di tujuan, tracer akan menggali info tentang alamat email sebenarnya, mengirim info ini ke pembuat tracer, lalu melenyapkan diri bagaikan David Copperfield.

Satu hal yang konyol adalah tentang "virus" (atau "worm"?, Dan Brown memakai kedua istilah yang rasanya kurang tepat tersebut). Virus Digital Fortress ini pada akhirnya bisa menyusup ke jantung bank data, lalu menyerang beberapa lapis firewall dan bastion host yang melindungi bank data tersebut. What the hell!?!? Sedemikan lemahkah sistem NSA? Apakah tidak ada pembatasan hak? Mungkinkah proses dekripsi suatu file bisa menyebabkan buffer overflow (atau apapun mekanismenya) yang bisa menyerang 5 macam network device external sekaligus? Saya jadi ingat dengan Pelawak Digital kita yang sangat termashyur.

Mungkin saya berharap terlalu banyak pada Dan Brown setelah terpesona oleh Da Vinci Code. Tapi masih ada beberapa bagian buku yang cukup menghibur, misalnya peralihan bahasa dari without wax yang dalam bahasa Spanyol adalah sin cera dan kemudian diserap ke bahasa Inggris menjadi sincere. Juga demonstrasi penguasaan bahasa Latin dan Spanyol. Juga deskripsi detil tentang lorong-lorong di Seville.

Pada awalnya, nama tokoh Jepang yang dipilih, Ensei Tankado, terasa janggal di telinga. Pencarian lewat google tidak menghasilkan banyak hit. Jadi, apakah memang nama itu nama Jepang, walaupun tidak umum? Tapi tak apalah. Kejanggalan ini tidak terlalu terasa mengganggu dibanding kekurangan teknis di atas.

Kekecewaan David Caldwell dan saya atas Dan Brown ini serupa dengan kekecewaan saya atas Tom Clancy. Beberapa buku awal Clancy seperti Red Storm Rising, Hunt for The Red October, dan Patriot Games sangat menarik. Tapi karya-karya terbaru Clancy sangat membosankan. Semoga Dan Brown tidak seperti itu ...

Tapi memang menulis kritik atas suatu buku sangat jauh lebih mudah daripada menulis buku ...

2 comments:

avianto said...

terbalik pak. Digital Fortress itu justru SEBELUM DaVinci Code. Jadi lumayan lah, ada perkembangan hehe.

Anonymous said...

Pak kalo buku Red Storm Rising dan Hunt for The Red October edisi bhs Inggris apa Indonesia pak?